Pages

12.4.11

Analisis Film The New Rules of The World

Analisis Film

The New Rules of The World

Film ini melihatkan bagaimana gambaran kehidupan buruh di Indonesia yang digaji rendah untuk memproduksi barang-barang dengan harga yang sangat mahal seperti GAP, Adidas, Nike dan lain-lain. Film ini menceritakan bagaimana penyebab globalisasi dalam bidang ekonomi yang sengaja dibentuk IMF dan World Bank untuk Indonesia. Globalisasi di bidang ekonomi ini dijadikan kedok bagi para kapitalis untuk menguasai ekonomi di beberapa negara berkembang.

Film ini merupakan film dokumentasi yang dibuat oleh John Pliger, untuk menunjukan kepada dunia bahwa kenyataan yang terdapat di dalam film ini merupakan dampak yang terjadi akibat adanya globalisasi ini. Ada beberapa kenyataan yang ditunjukan John Pilger yang terjadi kepada buruh-buruh yang ada di Indonesia, seperti: buruh di Indonesia rata-rata digaji sekitar Rp 9000 perhari, yang merupakan upah minimal resmi yang ditetapkan oleh pemerintah, bahkan pemerintah mengatakan bahwa upah tersebut sudah merupakan upah tertinggi di Indonesia.

Selain upah yang minim, para pekerja atau buruh dipaksa untuk kerja lembur seharian penuh, bahkan hampir 36 jam non-stop. Bukan itu saja setiap mereka memproduksi barang dengan harga Rp 112 ribu, mereka hanya mendapatkan kurang lebih Rp 500 dari harga produksi, sedangkan untuk sebuah sepatu yang dijual seharga Rp1,4 juta, mereka hanya mendapatkan Rp 5000. Bahkan jika ada permintaan lebih untuk di ekspor, para pekerja dipaksa lembur selama 16 jam berdiri tanpa diperbolehkan duduk.

Yang menjadi penyebab dari semua ini adalah kebijakan yang dibuat mantan Presiden Soeharto yang mengizinkan modal asing masuk ke Indonesia, yang jelas-jelas ditentang oleh Presiden Soekarno. Masuknya modal asing ini dari IMF, World Bank, dan WTO. Pemberian modal atau juga disebut pemberian utang yang dilakukan lembaga ini secara tidak langsung mengakibatkan eksploitasi berlebihan oleh negara maju terhadap negara berkembang yang hanya sedikit sekali memberikan keuntungan pada negara berkembang. Padahal dulunya lembaga ini dibentuk dengan tujuan untuk mengatasi krisis yang ada di negara Eropa setelah terjadinya perang dingin. Dan karena banyaknya negara Asia dan Afrika yang baru merdeka dan sedang dalam masa membangun negaranya, maka lembaga ini pun mulai merambah ke wilayah ini. Mereka mengataka hal ini bertujuan untuk membantu rakyat miskin. Tapi malah yang terjadi lembaga ini malah mempersulit keadaan perekonomian negara-negara yang dibantunya,

Dalam film ini secara tersirat mengatakan bahwa investasi justri menyebabkan penduduk miskin, namun dapat dianggap penting oleh pebisnis. Secara tidak langsung investasi dapat menciptakan unsur kapitalisme. Paham kapitalisme yang telah mengakar kuat pada negara maju yang kemudian disebarluaskan ke negara-negara berkembang, globalisasi yang dianggap mampu mengurangi jarak kesenjangan antara negara maju terhadap berkembang , yang dalam kenyataannya malah membuat negara maju semakin maju, sedangkan negara miskin semakin miskin

Dalam pembangunan, terdapat tiga aktor penting yaitu civil society, state, dan market. Di dalam film tersebut digambarkan sebuah keadaan dimana market lah yang memberikan arahan pembangunan kepada pemerintah, sedangkan peran civil society adalah sangat minimalis karena dibatasi oleh market dengan tangan state. Ini terlihat sekali perekonomian yang terjadi di Indonesia yang digambarkan dalam film ini adalah bentuk ekonomi jenis makro, pembangunan terjadi bagi rakyat golongan atas, dimana terjadi pengeksplotasian Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia. Sehingga menyebabkan persoalan baru, yaitu kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam.

Jika film ini dikaitkan dengan beberapa teori ketergantungan klasik yang bertentangan dengan teori-teori Marxis klasik.Seperti teorinya Andre Gunder Frank, yang menekankan pada pembangunan ketergantungan dan teori Theotonio Dos Santos. Teoru Frank mendapat pengaruh Prebisch tentang hubungan yang tidak sehat antara negara-negara pusat dan pinggiran. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara pinggiran hanya akan menguntungkan kepentingan modal asing dan kepentingan pribadi kaum borjuis lokal dan tak akan menetes ke bawah. Menurut Frank, negara-negara pinggiran merupakan negara kapitalis, kerena itu perubahan yang dilakukan adalah yang langsung menuju sosialisme. Keterbelakangan hanya bisa diatasi melalui revolusi yang melahirkan sistem sosialis.

Sedangkan Dos Santos mengatakan negara pinggiran bisa juga berkembang, meskipun perkembangan ini merupakan perkembangan yang tergantung, pekembangan ikutan. Impuls dan dinamika perkembangan ini tidak datang dari negara pinggiran tersebut, tetapi dari negara induknya. Dos santos membagi ketergantungan kedalam tiga bentuk, yaitu: ketergantungan colonial, ketergantungan financial-industrial, ketergantungan teknologis-industrial.

Film ini mendekati dengan apa yang dijelaskan Andre Gunder Frank. Frank mengatakan bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan di masa lalu dan yang terus mengembangkan keterbelakangan dimasa sekarang. Keterbelakangan merupakan sebuah proses ekonomi, politik dan social yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem kapitalisme. Keterbelakangan di negara-negara pinggiran adalah akibat langsung sari terjadinya pembangunan di negara-negara pusat.

Menurut Frank, dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum borjuasi di negara-negara metropolis berkerjasama dengan pejabat pemerintah di negara-negara satelit (negara pinggiran), dan kaum borjuasi yang berdominan. Sebagai akibat kerjasama dengan pejabat pemerintah antara modal asing dan pemerintah setempat, muncullah kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan modal asing dan borjuasi lokal, dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut.

Apa yang dijelaskan oleh Frank ini, berkaitan sekali dengan yang ditampilkan dalam film The New Rules of The World. Dimana yang menjadi negara pinggirannya adalah negara Indonesia dan yang menjadi kaum borjuis adalah lembaga “bantuan” seperti IMF, World Bank, dan WTO. Di sini bantuan yang diberikan oleh lembaga yang katanya untuk membantu memperbaiki perekonomian Indonesia, akan tetapi di balik itu mereka punya tujuan untuk mencari keuntungan.

Ciri-ciri dari teori yang disampaikan Frank ini, cocok dengan apa yang terjadi dalam perekonomian di Indonesia yang ditunjukan dalam film ini, seperti kehidupan ekonomi yang tergantung, terjadinya kerjasama antata modal asing dengan klas-klas yang berkuasa, seperti pemerintah, terjadi ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin.

Sebagian dari teori yang dikembangkan Dos Santos juga berkaitan dengan apa yang disaksikan dalam film ini. Di sini negara Indonesia termasuk dalam bentuk ketergantungan financial-industrial, yang mengatakan negara pinggiran masih dikuasai oleh kekuatan-kekuatan financial dan industrial negara pusat, sehingga praktis ekonomi negara pinggiran merupakan satelit negara pusat. Negara pinggiran masih mengekspor bahan mentah bagi kebutuhan industri negara pusat. Negara pusat menanamkan modalnya, baik langsung atau melalui kerjasama dengan pengusaha lokal, untuk menghasilkan bahan baku ini.

Apa yang ditampilkan dalam film documenter ini, merupakan hambatan dalam melakukan industrialisasi yang merupakan usaha mengatasi keterbelakangan negara pinggiran yang dibahas Dos Santos. Seperti yang dikatakan Dos Santos, neraca perdagangan internasional negara-negara pinggiran terus mengalami deficit karena: nilai tukar yang terus menurun dari komoditi primer terhadap barang industri, sektor ekonomi yang paling dinamis biasanya dikuasai oleh modal asing. Karena itu, keuntungan dari sektor ini diserap kembali ke negara-negara maju. Oleh karena itu, pinjaman luar negeri menjadi penting untuk menutupi deficit yang terjadi, dan untuk membiayai proses industrialisasi. Menurut Dos Santos, hambatan yang paling besar bagi pembanggunan di negara-negara pinggiran adalah karena mereka menyatukan diri dengan sistem internasional dan dan mengikuti hukum perkembangannya.

Dalam hal ini, Indonesia berusaha menyatukan diri dengan sistem internasional yang ditawarkan IMF, World Bank dan WTO, karena terlalu percaya dengan apa yang diiming-imingi oleh IMF terhadap kemakmuran negara Indonesia. Akan tetapi Indonesia belum mampu untu masuk kedalam sistem tersebut.

ANALISIS
Globalisasi yang terjadi saat ini adalah globalisasi tahap negara dan antara korporasi-korporasi dunia, sebuah globalisasi ya ng berujung pada kemiskinan dan diskriminasi. Investasi diharapkan dapat mendorong tingginya modal pertumbuhan dengan cara mengejar keuntungan makro. Hal ini dilakukan dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Hal ini merupakan contoh dari teori ketergantungan. Teori ketergantungan adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara-negara tertentu dipengaruhi perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara-negara lain, di mana negara-negara tertentu itu hanya berperan sebagai penerima akibat.
Derajat ketergantungan antara negara pusat dengan negara pinggiran berbeda. Negara-negara pinggirn jelas lebih tergantung kepada negara-negara pusat daripada sebaliknya. Hubungan “saling ketergantungan” ini bisa disejajarkan dengan hubungan antara majikan dengan buruhnya. Keduanya memang saling membutuhkan, tetapi hal ini tidak bisa dikatakan bahwa keduanya memiliki derajat ketergantungan yang sama.

Theotonia Dos Santos menyatakan, bahwa ada tiga bentuk keterantungan, yaitu: ketergantungan kolonial, ketergantungan finansial-industrial, dan ketergantungan teknologi industri. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan.
Keadaan yang terjadi saat ini, Idonesia mengalami bentuk ketergantungan finansial-industrial. Hal ini berarti negara Indonesia masih dikuasai oleh kekuatan-kekuatan financial dan industrial dari negara pusat, sehingga Indonesia praktis menjadi satelit dari negara pusat, dalam hal ini adalah negara-negara barat.

Indonesia masih mengirimkan bahan mentah ke negara pusat. Negara pusat menanamkan modalnya, baik langsung atau melalui kerjasama dengan pengusaha lokal, untuk menghasilkan bahan baku ini. Dengan demikian, pengendalian dilakukan melalui kerjasama ekonomi dalam bentuk kekuasaan finansial-industrial.

Asumsi dasar teori ketergantungan menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global, dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis. Frank adalah penyebar pertama dependensi.

Menurut Frank, modernisasi mengabaikan sejarah (ahistoris) karena telah mengabaikan kenyataan hancurnya struktur masyarakat dunia ketiga. Frank mengumpamakan hubungan hubungan negara-negara maju dengan negara dunia ketiga sebagai rangkaian hubungan dominasi dan eksploitasi antara metropolis dengan satelitnya.
Dalam pandangan Wallerstein, dinamika dunia dalam kapitalisme global selalu memberikan peluang bagi negara-negara yang ada untuk naik atau turun kelas. Sistem dunia yang dulu memberi keunggulan pada negara-negara yang bisa menghasilkan komoditi primer, pada saat lain keunggulan ini beralih kepada negara-negara yang mengembangkan industrinya.

Sistem dunia saat ini juga yang kemudian memberikan kesempatan kepada negara-negara pinggiran yang relative sudah siap untuk mengambil alih kesempatan untuk melakukan produksi barang-barang industri sederhana, pada saat produksi barang-barang ini sudah tidak menguntungkan lagi di negara-negara pusat karena upah buruh yang meningkat.
Paul Baran, seorang pemikir Marxis yang menolak pandangan Marx tentang pembangunan di negara-negara dunia ketiga, mengatakan bahwa kapitalisme yang ditularkan negara-negara maju kepada negara-negara berkembang merupakan kapitalisme kretinisme. Industrialisasi tidak terjadi, tetapi malah mempertahankan sektor pertanian yang menagkibatkan adanya penyusutan modal, bukan akumulasi. Negara-negara ini dikuasai oleh kepentingan modal asing dan agen-agennya di negera-negara maju dan oleh kepentingan kaum pedagang dan tuan tanah.

Kapitalisme sakit ini menyebabkan Indonesia sulit berkembang karena punya dinamika yang berlainan. Hal ini dapat dilihat bahwa Indonesia kini menjadi korban imperialism yang cenderung mempertahankan pertaniannya, sementara barang-barang industri harus diimpor. Apa yang diperoleh dari ekspor pertanian, dibelanjakan kembali untuk barang industri dan barang mewah yang nilai tukarnya terus meningkat terhadap barang pertanian. Tentu saja ini membuat Indonesia mengalami proses penyusutan modal.
Globalisasi yang terjadi di Indonesia mengakibatkan adanya krisis pembangunan. Krisis pembangunan mempunyai ancaman terhadap pengurangan ketidakstabilan sturktural dari transisi pembangunan pada pyoyek globalisasi. Hal tersebut termasuk dalam masalah buruh, krisis legitimasi kebijakan pemerintah, perubahan finansial pasar, dan berkembangnya sektor informal.

Globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang telah dicanangkan pada masa kolonialisme. Globalisasi ini ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui structural adjustment program oleh lembaga finansial global.
Hal ini menimbulkan praktik neo-liberalisme. Dapat tercermin dari keadaan yang terjadi yaitu, adanya pembasaan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah (perburuhan, investasi, harga serta pengaturan sendiri dengan menyediakan kawasan khusus ), menghentikan subsidi negara kepada rakyat karena bertentangan dengan prinsip emnjauhkan peran pemerintah dan prinsip pasar dan persaingan bebas, dan menghapusan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal yang masih banyak dianut oleh masyarakat “tradisional”

Krisis yang dialami Indonesia saat ini bersifat multikompleks. Bukan saja masalah kesenjangan antara kaya dan miskin yang dihadapi, melainkan ada juga masalah utang yang semakin membengkak dan kegagalan memiliki peran berarti dalam persaingan ekonomi di pasar dunia.
Bantuan-bantuan multilateral yang dikucurkan sejak saat itu tidak tulus sifatnya, tetapi penuh perhitungan dagang. Tuntutan-tuntutan di pemberi utang, mau tidak mau, harus diikuti negara pengutang. Cara seperti itu merupakan cara yang canggih untuk menguasai sumber daya suatu negara. Privatisasi sumber daya publik, pendidikan, dan kesehatan, juga bagian dari seluruh taktik untuk menguasai itu.
source : http://v1nda.wordpress.com

0 komentar

Posting Komentar