Pages

19.11.09

KHOUL BAGI KOMUNITAS SANTRI DI KALIWUNGU

Di lihat dari wilayah peradaban masyarakat Jawa zaman Mataram, masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: wilayah negarigung, wilayah mancanegari, dan wilayah pesisiran. Wilayah negarigung adalah wilayah yang menjadi pusat kerajaan Jawa zaman Mataram yaitu di Yogyakarta dan Solo. Karena menjadi (bekas) pusat kerajaan maka masyarakat di kedua pusat itu memiliki ciri-ciri penting seperti cara berbicara dan bertingkah laku menunjukkan kehalusan. Orang-orang yang tinggal di wilayah ini, apalagi yang masih berorientasi kepada kraton, bahasa tuturnya menggunakan bahasa Jawa halus (kromo). Lalu wilayah kedua, disebut dengan wilayah mancanegari. Daerah-daerah ini sering disebut dengan daerah/wilayah pinggiran, yaitu daerah-daerah yang masa lalunya masih terikat oleh kekuasaan kraton. Baik wilayah negarigung maupun mancanegari, pada masa-masa lalu masyarakatnya umumnya memiliki agama campuran yaitu campuran antara Hindu, Budha, Islam yang diramu dan dijadikan sebagai agama Jawa. Masyarakat di kedua wilayah itu, masa lalu, dan sampai sekarang, sebagian masih menunjukkan ciri-cirinya yang disebut sebagai ciri Kejawen atau abangan (lawan dari putihan). Sedang wilayah ketiga, ialah wilayah pesisiran. Istilah pesisiran ini tidak semata-mata merujuk kepada pengertian daerah-daerah di dekat pantai laut (Jawa utara), tetapi lebih menunjuk kepada daerah-daerah yang masa lalunya menjadi sasaran penyebaran Islam secara intensif. Wilayah pesisiran ini dibagi dua, yaitu pesisiran timur, dan pesisiran barat. Yang termasuk wilayah pesisiran timur meliputi: Cengkal Sewu, Surabaya, Gresik, Sedayu, Tuban, Lasem, Juwana, Pati, Kudus, dan Jepara. Sedang yang masuk wilayah pesisiran barat meliputi daerah: Demak, KALIWUNGU, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Wirodesa, Tegal, dan Brebes. Ciri dari masyarakat pesisiran ini umumnya ialah dalam berbahasa nampak kasar. Bahasa sehari-hari yang digunakan sebagai alat komunikasi ialah bahasa NGOKO (jangkar). Jika menggunakan bahasa kromo, maka kromonya kromo rendahan (gado-gado). Kegiatan ekonomi masyarakatnya, tidak semata-mata pertanian, tetapi usaha dagang (pasar) justru menonjol. Sedang dari segi keagamaannya, umumnya daerah pesisiran (meskipun tidak semuanya), adalah Islam santri (bedakan dengan Islam Abangan).

Masyarakat Santri

Yang disebut dengan masyarakat ciri-ciri pokoknya ialah adanya wilayah (daerah), adanya penduduk menetap, dan adanya norma-norma (aturan). Berlakunya aturan-aturan itu disepakati secara umum oleh penduduk yang bersangkutan. Pengertian masyarakat santri, karena itu ialah adanya sejumlah penduduk yang tinggal secara menetap di suatu daerah dalam waktu yang tidak dibatasi, yang cara-cara hidup umumnya penduduk yang bersangkutan menekankan kepada aturan-aturan yang bersumber dari ajaran agama. Pengetahuan agama (Islam) ini kemudian dijadikan sebagai pedoman, baik dalam tata peribadatan, maupun tata pergaulan antar sesama, bahkan untuk merasa, berfikir, dan menentukan keputusan.
Di kalangan masyarakat santri, lembaga pendidikan yang menonjol dan sering dijadikan sumber untuk memperoleh acuan pengertian ialah lembaga-lembaga pendidikan yang disebut dengan pesantren di samping majlis-majlis pengajian.
Pada setiap lembaga pesantren itu, di dalamnya selalu ada unsur-unsur yang satu sama lain saling berinteraksi, yaitu adanya sekelompok orang, adanya materi pelajaran, dan adanya sistem belajar (proses belajar).

Adanya sekelompok orang yang terlibat pada kegiatan pesantren, atau majlis-majlis pengajian, terdiri dari (1) yang mengajar, dan (2) yang diajar. Yang mengajar, adakalanya disebut ustadz/ustadzah, atau kyai/nyai. Sedang yang diajar disebut santri. Hubungan antara ustadz/kyai dengan santri diikat oleh aturan-aturan atau tata tertib agar proses belajar-mengajar itu bisa berlangsung dengan baik. Sedang alasan mengapa kedua belah pihak (ustadz/kyai dan santri) mau saling mengikat diri adalah karena memiliki kepentingan yang terpadu. Santri mau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mengikuti aturan yang umumnya dibuat oleh pihak pesantren karena ingin memperoleh pengetahuan (ilmu) yang barokah dari ustadz atau kyai. Sementara kyai tanpa waktu yang dibatasi bersedia mengajarkan ilmunya karena paling tidak adanya dua alasan. Pertama, keyakinan keagamaan yaitu karena adanya keyakinan bahwa ilmunya itu wajib diajarkan kepada orang-orang lain (lihat misalnya ungkapan Rasul: Ballighuu anni walau ayatan). Dan kedua, kepedulian kepada perbaikan kehidupan sosial (semacam social engenering) yaitu adanya keyakinan bahwa dengan mengajarkan ilmunya kepada santri-santri, maka akan semakin banyak orang yang mempunyai pengetahuan agama, sesuai dengan cabang-cabang dari ilmu agama yang ada. Kemudian semakin banyaknya orang-orang yang memiliki kealiman terutama di bidang agama, maka masyarakat yang bersangkutan akan semakin baik, karena masih ada sejumlah orang alim di masyarakat yang siap menjadi penjaga pintu gerbang dari gempuran-gempuran adat-istiadat atau gaya-gaya hidup yang ditawarkan oleh pihak asing yang bertentangan dengan syariat dan akhlak Islam. Jadi, meskipun ustadz/kyai jarang sekali menyusun curriculum atau SAP (Satuan Acuan Pelajaran) dalam hubungannya dengan proses belajar-mengajar, sebetulnya secara tersirat, kyai-kyai yang bersangkutan sudah menyadari pembangunan masyarakat jangka panjang yang ideal, yang diwujudkan secara tersirat dari cara-cara bagaimana kyai itu mengajar para santrinya.

Susunan Sosial dalam Masyarakat Santri.

Hubungan antara kyai dengan santri, atau kyai dengan masyarakat umum, adalah hubungan sosial yang didasarkan dan diikat oleh moralitas keagamaan (religion morality’s tied), bukan oleh upah (berupa: barang, uang, atau gaji, atau lainnya) atas jasa mendidik, atau mengajar kepada santri maupun masyarakat umum (mustamik) dalam jumlah waktu yang tidak dibatasi. Bandingkan kalau misalnya kita konsultasi kepada dokter, ahli hukum, atau advokat. Mereka memberikan atau mau memberikan jasa sesuai dengan bidang keallimannya, apabila kita telah menyepakati sejumlah dana yang telah dipatok atau ditentukan oleh yang bersangkutan.

Dari perbedaan cara seperti itu saja sudah menunjukkan bagaimana kehormatan kyai dibanding dengan yang bukan kyai. Tetapi terlepas dari soal di atas, ini berarti bahwa seseorang santri yang berikhtiar untuk menjadi allim (yang kemudian oleh masyarakatnya sering diberi lakob kyai), harus mempersiapkan diri. Persiapan itu ada baiknya disesuaikan dengan harapan-harapan yang ingin ditempuh atau diperankan ketika santri yang bersangkutan sudah pulang ke daerahnya. Persiapan itu intinya menyangkut dua hal, pertama, meningkatkan ketrampilan untuk memahami dan memimpin masyarakat lingkungannya, dan kedua belajar memahami masyarakat atau komunitas mana yang dipertimbangkan akan diprioritaskan menerima atau memanfaatkan keilmuan kita.
Di kalangan masyarakat santri, nilai-nilai dan norma-norma keagamaan sebagaimana yang saya katakan di atas, menjadi sumber acuan bagaimana masyarakat bertingkah laku dan menentukan berbagai keputusan-keputusan. Karena nilai-nilai agama dan pengetahuan keagamaan sangat penting maka orang-orang yang memiliki pengetahuan keagamaan, dalam satu sisi juga memiliki nilai dan peran penting, tetapi pada sisi lain, mereka yang memiliki pengetahuan keagamaan juga harus teruji secara baik untuk nantinya muncul penyebutan kyai. Maka orang-orang yang disebut kyai itu (kecuali penyebutan yang direkayasa) adalah orang-orang yang sudah lulus (sementara) dari seleksi secara alamiah dari masyarakat yang bersangkutan. Mereka yang sudah terpilih itu, kemudian sering menerima ungkapan perasaan masyarakat seperti: “Para kyai ingkang tansah kawula dereaken sedoyo fatwa-fatwahipun” Ini secara langsung menjelaskan adanya legitimasi masyarakat akan peran kyai, dan juga kyai diberi kewenangan (authoritas) di dalam kerangka memberi nasehat warganya.

Makna Khoul.

Kyai yang diberi authoritas dan ditempatkan pada posisi tinggi dalam struktur atau susunan sosial masyarakat, bukan saja terbatas pada masa “sugengnya” saja, tetapi pengakuan itu juga diteruskan sampai pada masa sang kyai itu berada di alam barzah. Ini ditandai oleh apa yang kita kenal dan rasakan dengan upacara khoul Kyai Ahmad Badawi.

Khoul sebagai istilah lain dari “peringatan ulang tahun meninggalnya seseorang” dalam prakteknya istilah khoul itu “hanya” dipersembahkan untuk figur-figur tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakatnya dan bukan untuk warga masyarakat umum. Arti penting dari upacara-upacara khoul itu ialah : pertama, meneguhkan perasaan hormatnya santri dan masyarakat sekitarnya akan peran dari figur kyai yang bersangkutan. Pada konteks ini, terutama bagi santri-santri, menghadiri khoulnya kyai sama artinya dengan meneguhkan silsilah atau mata rantai keilmuan. Peneguhan itu semakin kentara dalam jamaah thoreqot. Arti kedua dari acara khoul adalah pertemuan alumni. Pada acara temu alumni itu, bukan saja masing-masing alumnus bisa tukar pengalaman dalam kaitannya dengan perjuangannya menyebarkan ilmu di daerahnya masing-masing tetapi juga mempererat hubungan batin antaralumni dan antara alumni dengan badal atau wakil-wakil kyai, yang umumnya adalah putra-putra kyai sendiri atau kerabat dekatnya. Proses ini (jika normal) semakin tahun akan semakin besar, karena pada acara temu antar alumni maupun alumni dengan badal-badal kyai,biasanya para alumni itu juga mengajak serta murid-muridnya, karena dengan cara inilah mata rantai keilmuan dikukuhkan. Lahirnya tradisi Syawalan yaitu yang diadakan pada setiap tanggal 7 Syawal prosesnya bisa karena temu antaralumni pada acara khoul ulama ybs.

Khoul dari Kyai Haji Ahmad Badawi, mungkin juga akan bisa berkondisi seperti kondisi yang terjadi pada khoul pada saat acara Syawalan, asal ada perencanaan yang baik oleh semua pihak. Misalnya pada masa hidup Kyai Badawi yang hafidz Alquran dan mempunyai pesantren Tanfidzul Quran (yang sampai sekarang semakin dikembangkan oleh para putranya). Kalau pada setiap khoulnya (misalnya dalam satu minggu) diadakan kegiatan secara tetap, semacam festival Alqur’an di Kaliwungu.Vestifal itu sendiri bisa diisi dengan lomba-lomba dan pameran-pameran yang berkaitan dengan khazanah Alquran, kesenian-kesenian bercorak Islam, dsb. Insyaallah taaruf ini akan mendapat dukungan berbagai pihak.
Dan arti penting ketiga dari khoul adalah keteladanan. Pada setiap acara khoul kyai itu, sebetulnya secara tersirat mengingatkan kembali kepada figur dan prestasi yang disandangnya. Figur dan prestasi kyai tersebut lantas menjadi sosok ideal (the ideal type) yang kemdian dijadikan acuan keteladanan bagi generasi-generasi berikutnya. Berikhtiarlah agar menjadi seperti atau ikutilah jejak Kyai Haji Ahmad Badawi, yang hafidz dan allim Alquran.

sumber: http://staff.undip.ac.id

0 komentar

Posting Komentar