Pages

19.11.09

Tradisi Weh-wehan di Kaliwungu

Setiap kali datang Maulid nabi Muhammad SAW, selalu ingat masa kecil dulu. Saat itu sore hari setelah Asar pada malam Maulud pastilah sudah tersedia berbagai macam jajanan maupun makanan di rumah. Biasanya ada sompil (mirip lontong ukuran segitiga kecil tapi dibungkus daun bambu), lotek, bubur, mie bihun dan teman-temannya. Makanan itu khusus disediakan oleh Ibuku untuk acara “weh-wehan”. Tentu saja persiapan seperti itu tidak hanya dilakukan di rumahku saja. Rumah tetangga yang mempunyai anak-anak biasanya menyediakan makanan dan jajanan seperti itu. Dan mungkin hampir seluruh keluarga di Kaliwungu pada saat itu juga mempersiapkan “ketuwinan” (opo maneh…???).

Memang tradisi “weh-wehan” dan “ketuwinan” saat menyambut Maulud Nabi setahuku di Kabupaten Kendal hanya ada di Kaliwungu dan sekitarnya. Ini terbukti ketika aku pindah domisili dan tinggal di kecamatan lain, saat menyambut datangnya hari kelahiran rasul Muhammad SAW penduduknya anteng-anteng saja. Kalau membaca riwayat nabi mulai tanggal 1 Rabiul Awal rata-rata sama tapi tradisi weh-wehan dan ketuwinan itu yang tidak ada.

Weh-wehan mungkin dari bahasa Jawa yang artinya saling berbagi. Kalau ketuwinan itu yang aku belum tahu. Saling berbagi disini diwujudkan dengan saling bertukar makanan dan jajanan. Setiap anak akan membawa makanan dari rumah yang akan diberikan kepada tetangganya. Kemudian tetangga siempunya rumah akan memberikan ganti makanan lain yang ada untuk dibawa pulang anak tersebut. Demikian seterusnya sampai satu kampung terbagi semua. Tentu saja bagi anak-anak saling bertukar makanan dan jajanan seperti itu memberikan keasyikan tersendiri. Bagi rumah yang mempunyai makanan atau jajanan favorit pastilah yang antri banyak dan barternya makanan yang sama, soalnya yang weh-wehan seringkali anak yang itu-itu saja.

Selain tradisi weh-wehan, yang kuingat adalah “teng-tengan”. “Teng-tengan” adalah semacam lampu lampion terbuat dari bilah bambu dan kertas yang di dalamnya ada lampu “sentir”. Pada awalnya bentuk lampu ini masih terbatas pada bentuk pesawat, kapal, perahu ataupun bintang. Namun seiring berjalannya waktu kreatifitaspun tumbuh. Bentuknya sekarang ada sponge bob, dora dan teman-temannya. Didalamnya pun sudah berganti nyala lampu listrik. Mereka biasa dipasang di depan rumah di bulan Maulud ini. Namun untuk yang suka kepraktisan biasanya teng-tengan ini diganti dengan lampu hias listrik warna-warni.

Itulah yang membuatku selalu ingat tradisi weh-wehan sampai sekarang. Setiap tahun kalau memungkinkan pasti aku bersama keluarga ikut weh-wehan di Kaliwungu.

Source: http://masjaliteng.wordpress.com

0 komentar

Posting Komentar